Gaya Hidup

05/09/25

Miracle Dancers Family bawa harum nama Indonesia di panggung internasional

 
Miracle dance family
Foto: Pertunjukan Miracle Dancers Family di panggung Super24 Singapura. (istimewa)

OPSINTB.com - Panggung persegi empat itu terhentak. Terlihat hidup bersamaan dengan konsep lighting berpadu warna kostum.


Baru bagian tubuh itu digerakan, suara teriakan di stadion menggema. Menambah energi bagi mereka yang tampil.


Gedung pencakar langit di negeri singa tak membuat mental mereka layu. Malah, terlihat energik dan santai seperti tampil di tanah kelahiran sendiri, layaknya orang yang tidak berkompetisi.


Lebih menakjubkan lagi, tim tari itu bukan grup luar negeri yang biasanya dikenal oleh khalayak. Melainkan berasal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).


Miracle Dancers Family, namanya. Tim ini ternyata bukan club tari amatiran. Mereka tercatat malang melintang di beberapa kontestasi nasional.


Terakhir mereka tampil di panggung internasional, Super24 Singapore 2025.


Di panggung megah itu tim ini mengirim pesan menyentuh. Tentang kehilangan seseorang yeng telah memiliki mimpi yang sama di dalam tubuh grup itu.


"Konsep yang didedikasikan kepada salah seorang anggota yang telah meninggal," terang Pendiri sekaligus Pelatih Miracle Dancers Family, Muhammad Satria, kepada opsintb.com, Kamis (4/9/2025).


Dengan latar musik Bring Me to Life miliknya Evanescence, mereka ingin menghidupkan kembali suasana saat masih bersama. Sebuah cita-cita yang sudah bisa digapai.


Meski dihinggapi dengan perasaan campur aduk, tapi lewat gerakan itu ada pesan tegas yang ingin disampaikan bahwa mimpi-mimpi itu akan tetap hidup. Dibuktikan dengan peringkat keempat Asia dan Australia. Terlebih lagi, tim dari Indonesia hanya Miracle, satu-satunya yang bisa di posisi itu.


"Itu keren banget menurut kita di sana. Jadi kita kayak seneng banget mewakili Indonesia apalagi di situasi seperti ini," ujar Ryo panggilan karib Muhammad Satria.


Yang paling berkesan pada ajang itu disebutnya ialah atmosfer usai performance. Mereka merasa seperti tampil di rumah sendiri padahal itu negara orang. Pasalnya, seisi stadium memberikan apresiasi yang bagus. Apalagi support semacam itu datang dari berbagai orang dari penjuru Asia.


"Banyak yang bilang bagus banget, banyak yang mengunggulkan kita jadi juara 1. Tapi balik lagi selera juri beda-beda," ucapnya.


Saat ini Miracle Dancers Family sudah beranjak tahun ke 15. Sebuah umur dan perjuangan yang panjang bagi sebuah tim tari, apalagi hidup di plosok NTB yang jauh dari gemerlap kota.


Dia membeberkan, untuk tampil di panggung Super24 Singapura, pihaknya harus berlatih selama hampir 6 bulan. Mulai dari preparation, gerakan, dan yang lainnya. 


Rentang waktu itu disebutnya cukup panjang hanya untuk satu kompetesi. Karena banyak yang harus diatur, seperti gizi anggota, istirahatnya, dan banyak hal lainnya. 


Ryo membeberkan, anak-anak yang tampil di ajang itu semua berasal dari Lombok. Mulai usia SD hingga SMA, bahkan sudah ada yang bekerja.


Dia menuturkan, tim Miracle Dancers Family, telah menaklukan World of Dance Indonesia selama dua kali berturut-turut. Dan tahun ini mereka mewakili Indonesia di panggung internasional yakni pada ajang Super24 Singapore itu. 


Dia membeberkan, pada ajang ini tim harus terdiri dari 24 orang dan memiliki perbedaan yang mencolok dengan lomba yang telah diikuti sebelumnya. 


Dari sisi panggung misalnya, yang berbentuk kotak dan ada juri yang mengelilingi panggungnya. 


"Jadi beda kayak lomba yang biasa yang jurinya menghadap satu arah. Ini kayak kita harus menghadap keempat sisi yang berbeda," kata Ryo.


Pada babak penyisihan, tutur Ryo, mereka harus bertarung melawan 33 tim dari Asia dan Australia. Miracle Dancers Family bisa meraih peringkat satu pada fase itu.


Namun hari selanjutnya ada perubahan juri, sehingga timnya harus puas berada di posisi empat, berbeda empat poin dari juara pertama.


Tahun depan pihaknya akan kembali mengikuti kompetisi ini dengan terget bawa mendali emas.


"Dalam waktu dekat kita akan mengikuti World of Dance lagi untuk mempertahankan gelar juara untuk ketiga kalinya," tegasnya. 


Dia berharap tim yang dinakhodainya itu terus bisa membawa nama Indonesia dan Lombok di kancah internasional. 


Pemerintah juga bisa lihat ada tim sekelas Miracle Dance Family dan anak-anak yang lain yang terus berusaha banggain dan harumkan nama Indonesia.


"Pemerintah bisa lihat itu dan support mereka, karena mereka layak untuk disupport," pungkasnya. (kin)

13/08/25

Kemerdekaan dan permainan lari balap karung

 
Kemerdekaan dan permainan lari balap karung

OPSINTB.com - JATUH atau terguling pasti disambut gelak tawa. Begitulah keseruan permainan lari balap karung. 


Permainan satu ini masih bertahan hingga sekarang, di umur 80 tahun Indonesia merdeka. Keduanya seperti satu kepingan koin logam yang tak terpisahkan.


Di saat lomba-lomba lain sudah musnah semisal panjat pinang, tapi permainan balap lari menggunakan karung tetap eksis. Tidak menggelar lomba ini nampaknya serasa ada yang kurang saat peringatan kemerdekaan Indonesia berlangsung.


Saking populernya, tidak heran jika permainan satu ini sudah merambah keberbagai kegiatan sosial. Seperti memeriahkan hari besar islam, kegiatan adat sampai dengan ulang tahun desa, lomba ini pasti ada, bahkan sampai kegiatan komunitas. 


Salah satu yang mempengaruhi nampaknya adalah aturan permainan yang mudah, media permainannya juga cepat didapat, sudah barang tentu dengan ongkosnya yang murah meriah.


Ada dua versi tentang awal munculnya permainan satu ini. Pertama, permainan ini disebut-sebut pertama kali dikenalkan oleh misionaris Belanda melalui tuan tanah, pemilik pabrik gula, dan pemilik perkebunan yang merupakan orang kulit putih.


"Dalam negeri asalnya dikenal dengan sebutan Zaklopen, yang artinya balap karung," seperti tertulis dalam Histourism.id.


Biasanya permainan ini digelar saat perayaan hari ulang tahun Ratu dan Raja Belanda. Kendati belum diketahui pasti kapan tiba di Hindia Belanda.


Histourism mencatat, menyebutkan diperkirakan saat VOC bangkrut, pemerintahan Hindia Belanda diambil oleh Kerjaan Belanda. 


Menurut sumber ini, saat itu kebutuhan akan personil kulit putih di Hindia Belanda, orang-orang Belanda berdatangan dan bermukim. Terciptalah pemukiman orang kulit putih dibeberapa wilayah di Jawa.


"Saat itulah balap karung dimainkan di komunitas Belanda dan kulit putih setiap Hari Ratu atau Raja," tulis Histourism.


Pemilik perkebunan di Sumatera, misalnya, kerap menggelar permainan ini pada Hari Ratu tiba. 


Di Batavia, balap karung dimainkan di tanah-tanah parikelir milik kulit putih Belanda. Pribumi yang memainkannya adalah mereka yang bermukim di tanah itu. 


"Di hampir setiap koloni Belanda, balap karung dimainkan penjajah dan rakyat tanah jajahan," tulis dikutip dari sumber yang sama.


Balap karung mencapai puncak popularitasnya pada dekade pertama abad ke 20. Permainan ini sempat dipertandingkan di Olimpiade St Louis 1904.


Mo Farah, atlet AS, keluar sebagai peraih medali emas balap karung pertama. Ia mencatatkan waktu kurang 40 detik untuk jarak 100 meter. Namun setelah itu, balap karung tak dipertandingkan kembali di olimpiade berikutnya.


Di Hindia Belanda, balap karung kali terakhir dimainkan serdadu kulit putih tahun 1948, atau setahun sebelum mereka hengkang dari wilayah yang hendak dijajah kembali usai Perang Dunia II.


Dr Ari Wibowo Kurniawan dalam bukunya yang berjudul Olahraga dan Permainan Tradisional, mengatakan permainan balap karung sudah ada sebelum Indonesia merdeka, melainkan sejak zaman penjajahan Belanda. 


Permainan ini sering dilakukan oleh mereka yang usia 6 hingga 12 tahun pada saat ada perayaan di sekolah-kolah belanda. 


Versi kedua menyebutkan, balap karung lahir dari kekecewaan orang-orang pribumi yang tidak mampu membeli pakaian akibat penjajahan Belanda. Lantaran tidak memiliki uang yang cukup kebanyakan pribumi waktu itu menjadikan karung goni sebagai penutup tubuh.


Lantaran kesal, mereka menginjak-injak karung itu hingga bolong. Yang awalnya sebuah bentuk kekesalan, kebiasaan melompat-lompat di dalam karung goni lambat laun bertransformasi menjadi sebuah permainan yang dipertandingkan hingga sekarang.


Terlepas dari kejelasan asal-muasalnya, ada sejumlah nilai budaya yang bisa kamu ambil dari permainan balap karung, misalnya nilai kerja keras dan sportivitas. 


"Nilai kerja keras tercermin dari usaha para peserta untuk sampai ke garis akhir. Tentunya, balapan dengan kaki di dalam karung goni tak semudah berjalan atau berlari biasa," tulis Bella Manoban di IDN Times.


Dr Ari Wibowo Kurniawan, dalam bukunya menulis permainan ini memiliki nilai budaya. Selain kerja keras dan sportivitas, juga didapati  nilai kerjasama yang tercermin dalam kelompok yang sedang bermain.


Saat ini permainan balap karung telah bertransformasi. Dulu, pemain akan menggunakan media karung untuk berlari dengan cara lompat, tanpa penutup kepala.


Saat ini, pemain menggunakan tutup kepala berupa helmet dan lompat sambil jongkok.


"Permainan balap karung dapat dikategorikan sebagai segala umur," tulis Dr Ari Wibowo Kurniawan. (kin)

14/05/25

Pameran & kontes bonsai level nasional digelar di Alun-Alun Tastura Praya Lombok Tengah

 
Pameran bonsai terbaru

OPSINTB.com - Lalu Ahim dengan teliti mengamati setiap bonsai yang terpajang sepanjang Alun-Alun Tastura Praya, Lombok Tengah. Pagi itu, ia mengelilingi stand bonsai mame (bonsai berukuran 0-30 cm), lalu ia melanjutkan ke stand bonsai medium (ukuran 30-1,5 cm).


''Mengamati bonsai adalah cerminan melihat orang lain: kita tahu sisi baik atau buruknya,'' tutur Ahim saat dijumpai opsintb.com dalam pameran dan kontes bonsai nasional piala Bupati Lombok Tengah, Rabu (14/5/2025).


Laki-laki asal Desa Lendang Nangka, Kecamatan Masbagik, Lombok Timur itu menyempatkan diri mampir ke pameran dan kontes bonsai kerjasama Pemda Lombok Tengah dengan Perkumpulan Penggemar Bonsai Seluruh Indonesia (PPBI), yang diselenggarakan 9-18 Mei 2025.


Ahim juga salah seorang peserta dalam kontes ini. Bonsai jenis iprik yang sudah dirawatnya selama sepuluh tahun masuk kategori ''best ten'' dan disematkan bendera kuning.


''Ya sepuluh tahun lebih saya menggemari bonsai,'' tambahnya.


Di sudut lain, Asep Utama, seorang panitia sibuk memotret bonsai-bonsai itu. Ia bertugas mendokumentasikan sebagai bahan laporan ke PPBI pusat. 


Kata Asep, ada 11 jenis bonsai yang dipamerkan dalam pameran kali ini. Yang terbanyak jenis Saeng Simbur. ''Kami sedang mengupayakan mengangkat jenis lokal, Saeng Simbur, karena di Lombok sekarang sudah agak langka,'' kata Asep.


Ia mengatakan, mulai menggemari bonsai sejak 1995. Banyak kontes yang telah diikutinya. Salah satu yang tak bisa dilupakan adalah ketika mengikuti kontes bonsai Asia Pasifik di Australia, 2008 silam.


''Banyak pelajaran, banyak inspirasi yang didapatkan selama mengikuti kontes itu, termasuk cara merawat, karena merawat bonsai harus telaten dan sabar,'' ujar Asep.


Bendahara PPBI Lombok Tengah, Sayuti menjelaskan, ada 600 lebih bonsai serta bahan bonsai yang mengikuti kontes dan pameran skala nasional ini.


Para peserta datang dari hampir seluruh kabupaten/kota se-NTB. Selain itu, terdapat pula peserta dari Bali dan Probolinggo, Jawa Timur.


''Mereka rela datang jauh-jauh, karena ini sklanya nasional,'' jelas Sayuti.


Ditambahkan, tidak ada hadiah tertentu bagi pemenang kontes, namun mereka akan diberikan kemudahan mengikuti kontes tingkat nasional di pusat.


Adapun yang menjadi pusat perhatian dalam pameran dan kontes kali ini adalah bonsai Saeng Simbur, bonsai legend berusia 30 tahun. Bonsai ini telah mengikuti kontes di Singapura. 


''Pernah juga ditawar mantan Bupati Lombok Timur, Sukiman Azmy, tapi pemilik tidak mau melepas. Harganya kira-kira dua kali ongkos haji,'' tutup Sayuti. (wan)

21/04/25

Mengenal Senin Apriadi, pelukis kenamaan asal Lombok Timur

 
Pelukis senin apriadi

OPSINTB.com - Senin Apriadi, mungkin terdengar asing bagi kebanyakan orang. Tapi tidak bagi mereka yang hobi melukis.


Pria asal Lingkungan Seruni, Kelurahan Selong, Kecamatan Selong, Lombok Timur (Lotim) ini, menghabiskan waktunya untuk melukis dan membuat bingkai lukisan maupun foto biasa. 


Di ruangan sederhana miliknya itu, dia terbiasa mengisi canvas kosong. Mengubahnya menjadi barang berharga enak dipandang.


Apriadi merupakan satu dari puluhan pelukis di Lombok Timur (Lotim). Karya-karyanya sudah banyak dilirik, bahkan sudah banyak yang dikirim ke luar negeri.


Melukis sudah puluhan tahun digelutinya. Pahit manis menjadi pelukis telah dilalui.


Terlihat, puluhan lukisan, mulai dari berukuran kecil hingga jumbo terpajang di ruangannya. Sebagian lukisan dibiarkan tergeletak begitu saja bersama potongan kampas dan kayu-kayu kecil. 


Beberapa lukisan terlihat masih setengah jadi dan beberapa sudah dipasangkan bingkai.


Sebagian lukisan telah berumur puluhan tahun, dan beberapa lukisan juga masih baru. Lukisan dengan gambar alam, wayang, dan lainnya membuat ruangan sederhana itu sangat indah dan estetik, meskipun sedikit berantakan.


“Saya kalau sekarang hanya di rumah saja. Di sini (rungan kerja, red) saja setiap hari. Mulai dari melukis dan membuat bingkai pesanan. Kalau ada event live painting, baru saya keluar,” ucap Senin Apriadi saat ditemui di rumahnya, Senin (21/4/2025).


Ia menceritakan, sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) bakat menggambarnya sudah mulai terlihat. Sejak itu ia senang sering mencoret-coret dengan peralatan seadanya.


Kemudian saat menginjak usia kelas lima SD, tuturnya, bakat melukis itu semakin terlihat. 


Dirinya mengenang tahun 1.976 lalu, saat salah satu karyanya dilirik oleh pemilik Bioskop.


Saat itu, kata dia, bekerja di Bioskop tersebut sebagai bagian gambar film dan menulis spanduk. Waktu itu, ucapnya, masih menggunakan bahan seadanya seperti tripleks dan kertas manila.


Tak hanya peralatan, pewarna pun masih sangat terbatas. Seingatnya hanya menggunakan pewarna kue.


“Saat itu saya juga sering disuruh buat spanduk secara manual, tapi saat itu saya belum fokus dan percaya diri menjadi seorang pelukis,” katanya.


Selain itu dirinya juga sempat diminta untuk menggambar di Kantor BKKBN Provinsi NTB, untuk sosialisasi program BKKBN. 


Selain aktif melukis, dirinya juga menekuni bidang olahraga. Seperti karate, catur, sepakbola, dan lainnya.


Pada tahun 1985 hingga 1990, dirinya merupakan salah satu atlet catur asal Lotim. Selain itu dia juga sempat menjadi pelatih sepak bola di Lotim.


“Saat itu saya melatih bola sambil melukis. Meskipun tahun 1980 itu kita sudah mengenal banyak warna dan sudah bergabung di salah satu sanggar,” tutur Apriadi.


Pada awal tahun 1990, ia kemudian memutuskan keluar menjadi atlet catur dan fokus melukis. Meskipun saat itu dirinya masih mengemban amanah sebagai pelatih sepak bola.


Dia harus rela bolak balik Lombok Bali untuk melukis dan jual lukisan.


Dari sana, diakui bakat melukis dan karyanya banyak dilirik oleh pencinta seni lukis. Meskipun saat itu karyanya dijual dengan harganya masih sangat murah.


Dia menuturkan, dia berproses lebih dari 13 tahun untuk betul-betul bisa menjadi pelukis. Lantaran bakatnya itu tak diasah dibangku sekolah, melainkan secara otodidak.


“Saya matangnya di tanjung luar. Karena saya sering melukis di tanjung luar di dermaga,” kenang Apriadi.


Diakui pahit manis menjadi pelukis sudah habis dilalui. Berbagai pameran pun telah dijajaki.


Meskipun pernah menjadi seorang yang aktif di dunia olahraga dan menjadi atlet. Namun ia lebih memilih untuk fokus menjadi seorang pelukis. 


Bahkan sejak masih muda ia menolak sebagai seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) demi tetap melukis.


Ratusan lukisan telah dijual, dan sudah terkenal di berbagai belahan dunia. Satu lukisannya dibandrol dengan harga minimal Rp 5 juta hingga Rp 10 juta. Namun sebagian besar lukisannya dijual di bawah Rp 10 juta.


“Paling mahal Rp 10 juta, itu lukisan perahu diambil oleh wisatawan dari Kanada. Kalau Sekarang paling harganya di bawah Rp 10 juta saja,” ungkapnya.


Sebelum pandemi Covid-19 diakui menjadi tahun kejayaan di dunia seni lukis, berbagi pameran telah diikuti dan ratusan lukisan terjual, pun alat dan bahan melukis.


Namun setalah namun saat bencana non alam itu menyerbu, dirinya hanya fokus bekerja di sanggar Dame Kampas miliknya. Untuk melukis, menjual alat dan bahan melukis dan bingkai.


Selain itu dirinya juga membuka pelatihan melukis di rumahnya. Banyak anak-anak SMK maupun SMP yang belajar melukis di rumahnya. 


Saat ini diakui ia lebih betah menghabiskan waktu di rumah di gudang seserahan miliknya. Meskipun kerap mendapat tawaran menjadi guru seni di berbagai sekolah.


Dulu kata dia, menjadi seniman itu, dianggap tidak jelas, orang tidak berpenghasilan. Ternyata anggapan itu salah, justru menjadi sumber penghasilan. 


"Hanya ini sekarang yang saya kerjakan, menjadi sumber penghasilan saya," terangnya.


"Saya memilih untuk melukis di rumah saja, sembari mengajar anak-anak yang pelatihan melukis,” pungkasnya. (zaa)

© Copyright 2021 OPSINTB.com | News References | PT. Opsi Media Utama